Proses Kelahiran Althaf

Althaf Maqil Ibrahim, anak pertama kami (Elvira Rachmawati dan M. Rizki Indra Aurum), lahir ke dunia hari Kamis, tanggal 19 November 2020 pukul 14.21 WIB di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita (RSABHK).  Althaf lahir di usia kehamilan yang menginjak 37 minggu 3 hari.

Waktu yang menurut kami, orang tuanya, terbilang terlalu cepat karena menurut HPL, anak kami akan lahir sekitar 7 Desember 2020. Tapi ternyata, Allah selalu menakdirkan semua hal di waktu yang tepat. Althaf pun lahir di waktu yang tepat. Di usia kehamilan tersebut, ia lahir dengan tidak kurang suatu apapun. Alhamdulillah. Althaf memang sudah siap lahir ke dunia. Bertemu orang tuanya segera :")

Jika mem-flashback ke hari-hari sebelum melahirkan, saya dan suami bisa dibilang masih santai karena masih berpikir waktu menuju kelahiran adalah sekitar 3 mingguan lagi. Hari Sabtu, 14 November 2020 saya dan suami masih sempat kontrol ke dr. Dario di RS Medistra. Hari Selasa, 17 November 2020 saya sendiri masih kontrol ke dokter Sadina di RSABHK. Bahkan kontrol kali ini saya hanya sendiri karena suami tidak dapat menemani berhubung sedang jadwal WFO. Di hari yang sama masih di RSABHK, saya pun sempat dirujuk oleh dr. Sadina untuk bertemu dokter ahli gizi, dr Liliana, untuk konsultasi terkait upaya menaikkan berat badan janin yang saat itu memang cenderung kecil yaitu sekitar 2700 gram. Saya bahkan dibuatkan catatan langsung oleh dokter untuk 3 minggu mendatang hingga usia kehamilan 40 minggu. Selain itu, saya dan suami juga masih sempat merencanakan pergi di weekend untuk makan mie ayam RR di Fatmawati yang memang sudah lama kami ingin coba. Ternyata, anak kami sudah tak sabar ingin bertemu.


Kurang lebih begini kisah kelahiranmu, Nak..

18 November 2020

Pagi hari, jam 9.00-12.00 saya masih ikut rapat bahas kerjaan. Ini bertepatan dengan sekitar 3 mingguan menuju HPL sehingga saya masih belum memutuskan untuk ambil cuti. Saya berniat cuti di akhir November karena berpikir bahwa waktunya cukup menuju kelahiran, lagipula semua pekerjaan dilakukan dari rumah sehingga masih bisa saya atur meskipun sedang hamil besar.

Siang harinya saya masih sempat masak. Waktu itu kepikiran kok pengen bikin seblak dan telur rebus 😅 Akhirnya saya masak dan kembali beraktivitas seperti biasanya. Setelah makan, sejujurnya perut agak sakit. Tapi saya kenal rasa sakit ini, seperti rasa sakit saat makan makanan pedas. Jadi, saya pun masih santai dan tidak memiliki firasat apapun.

Oya, hari ini juga saya ngobrol via DM IG dengan teman saya, Ayas. Kami ngobrol seputar tips memperlancar kelahiran. Salah satunya, Ayas bilang kalau mau mempercepat kepala bayi masuk panggul, bisa juga dengan cara jongkok saat BAK. Dan tips ini saya lakukan di hari itu. 

Sekitar jam 5 sore, Abang mengabarkan kalau ia sudah di jalan dan akan segera pulang. Selesai shalat maghrib, saya dan suami seperti biasa berkumpul di kamar. Saat itu, suami dengan laptopnya, dan saya mengambil posisi duduk di atas gymball. Aktivitas duduk di atas gymball ini rutin saya lakukan semenjak usia kehamilan sekitar 33 minggu, saat kepala bayi sudah berada di bawah, dengan tujuan membantu kepala bayi segera masuk panggul/jalan lahir. Di tengah-tengah aktivitas tersebut, kami berdua masih sempat berdiskusi soal nama bayi kami dan memikirkan beberapa pilihan nama.

Selain itu, saya pun membuka YouTube, dan entah apa yang menggerakkan saya waktu itu untuk membuka beberapa video yang berkaitan dengan teknik mengejan, teknik pernafasaan saat kontraksi, dan juga proses bayi masuk ke panggul.

History video yang sempat dilihat tepat sebelum pecah ketuban.

Sekitar jam 19.20an, dalam posisi masih duduk dan main-main di atas gymball, tiba-tiba ada cairan rembes dan membasahi gymball yang sedang saya duduki.

Langsung saya cium aroma cairan itu dan tidak ada bau pesing. Saya coba berdiri dan airnya tidak juga berhenti mengalir. Seketika saya ingat ucapan teman saya, Fadila, bahwa salah satu ciri yang membedakan air ketuban dengan air pipis yaitu: jika air pipis biasa maka aliran airnya bisa ditahan dan dikendalikan, tapi jika pecah ketuban maka tidak akan bisa ditahan dan alirannya akan mengalir di luar kendali kita. Dan apa yang saya alami persis seperti yang kedua, alirannya deras tidak bisa ditahan.

Saya langsung bilang ke suami bahwa kemungkinan besar ini adalah pecah ketuban dan saat itu kami berdua sempat panik dan kebingungan mengenai apa yang harus kami lakukan. Akhirnya saya minta tolong suami telepon IGD dan menceritakan keadaan saya, lalu setelahnya suami mempersiapkan barang yang harus dibawa ke rumah sakit. Di saat yang sama, ketuban saya masih mengalir lumayan deras.

Selesai dengan segala barang, kami segera berangkat ke RSABHK. Saya masih dalam kondisi bisa berjalan meskipun tertatih-tatih dan ketuban masih mengalir, dan ada sedikit rasa mulas mulai muncul di perut seperti mulas ketika sedang haid. Alhamdulillah malam itu perjalanan kami ke RS lancar dan tidak dihadang macet. Setibanya di IGD, saya lapor ke suster dan suami mengurus administrasi. Saya langsung dibawa ke tempat tidur IGD dan ditangani oleh bidan RS. Saat itu bidan ngecek pembukaan dan katanya masih belum ada pembukaan. Lalu bidan melakukan pengecekan CTG, tensi, dan beberapa pertanyaan terkait kesehatan saya. Berhubung saya belum rapid test ataupun swab, saat itu saya juga menjalani rapid test dan dijadwalkan untuk swab esok harinya. Karena sedang dalam masa pandemi, maka prosedur swab test ini menjadi wajib dijalani oleh setiap pasien.

Malam itu pertama kalinya saya merasakan yang namanya CTG. Perut saya dililit semacam belt lalu dipasangkan alat di atasnya. Dari monitor yang terhubung ke alat tersebut, bisa terlihat aktivitas janin berupa detak jantung dan entah apalagi. Yang jelas, kalau kontraksi terjadi di perut saya, maka suara CTG makin besar dan ada indikator angka yang makin naik sehingga bidan bisa tau kalau saya sedang mengalami kontraksi. Namun ketika dicek pembukaan, masih belum ada pembukaan kata bidan. Saya masih sempat terlelap sebentar ketika di IGD meskipun kontraksi kian terasa dan makin sering.

Singkat cerita, sekitar jam 12 malam saya dan suami baru bisa pindah ke ruang bersalin. Saat itu kontraksi yang saya alami makin teratur dan makin terasa. Mungkin kontraksi terjadi setiap 5-10 menit, saya tidak terlalu ingat. Saat di ruang bersalin, saya dicek kembali pembukaan dan baru pembukaan 1. Ketuban masih terus mengalir meskipun tidak terlalu banyak. Saat itu saya masih bisa berjalan kaki untuk pipis ke toilet. Dan sejujurnya ketika saya jalan kaki, rasa mulas itu agak sedikit berkurang. Tapi sayangnya kata bidan, karena ketuban saya sudah pecah duluan, jadi saya harus bedrest supaya ketuban yang keluar tidak semakin banyak. Lain halnya jika persalinan tanpa ketuban pecan duluan, malah disarankan untuk terus bergerak untuk mengalihkan rasa sakit. Akhirnya saya cuma bisa berbaring sambil menahan kontraksi yang semakin intens.

Saat itu alhamdulillah ada Abang yang stand by di sebelah saya. Hal yang lumayan membantu mengalihkan rasa kontraksi adalah usapan di bagian punggung sehingga saya minta suami mengusap-usap punggung. Kadang saya masih diajak bercanda dan saya masih lumayan bisa menanggapi di awal-awal kontraksi ini. Sejujurnya saat itu rasa kantuk pun muncul tapi saya tidak bisa tidur. Saya coba atur nafas setiap kali kontraksi datang. Teori atur pernafasan yang baru saya tonton beberapa jam yang lalu sebelum pecah ketuban ternyata berguna sekali 😂 Sampai saya dapat pujian dari bidan RS yang menangani, "Ibunya hebat ya manajemen rasa sakitnya sambil atur nafas". Dalam hati saya menjawab, "Iya soalnya saya baru aja nonton videonya beberapa jam yang lalu 😅"

Jam 04.00 pagi, saya kembali periksa dengan CTG dan cek pembukaan. Masih pembukaan 1-2 ternyata. Kata bidan mungkin akan dicek lagi pembukaan dalam interval 6 jam berhubung saya sudah pecah ketuban jadi cek pembukaan tidak bisa dilakukan terlalu sering karena khawatir terjadi infeksi. Hari itu saya dijadwalkan untuk USG dan juga swab test di pagi hari. Bidan juga bilang kalau dokter Sadina akan datang pagi-pagi untuk kontrol kondisi langsung.

Waktu berlalu tapi rasanya bagi saya seakan lamaaa sekali. Kontraksi yang saya rasa makin terasa tapi saya masih bisa menanggapi obrolan suami, masih bisa ngobrol dengan suster dan bidan, dan masih bisa mengatur nafas. Di pagi hari alhamdulillaah ibu dan ayah mertua serta kakak ipar sudah tiba di rumah sakit namun semuanya tidak ada yang diperbolehkan masuk ke ruang bersalin selain suami. Mamah bapak serta adik-adik dari Garut juga sudah mulai jalan menuju Jakarta. InsyaAllah semua anggota keluarga lengkap menunggu kelahiran Althaf di rumah sakit.

Singkat cerita, sekitar jam 8, dokter Sadina datang dan mulai mengecek keadaan saya. Pembukaan saat itu masih pembukaan 2-3. Istighfar terus karena masih jauh ke pembukaan 10 padahal gelombangnya rasanya sudah makin berlipat. Waktu itu dokter Sadina bilang, "Kita tunggu sampai 6 jam ke depan baru kita cek lagi pembukaan. Kalau misalnya masih belum ada kemajuan, mungkin kita induksi supaya bisa mempercepat. Kalau ternyata masih belum juga, mungkin harus ambil tindakan operasi. Kalau saya lihat aktivitas janin dan kontraksi, kemarin malam udah bagus tuh. Tapi yang terakhir saya lihat agak menurun ya jadi kita tunggu dulu". Dokter menambahkan bahwa saya harus USG dulu pagi ini untuk mengecek keadaan janin dan memutuskan tindakan selanjutnya yang paling tepat. Saat itu saya juga menanyakan mengenai kondisi ketuban saya yang sudah pecah dan mengalir banyak sekali. Saya takut kalau ketubannya habis atau terminum/terhirup oleh bayinya. Tapi dokter ataupun bidan dan suster tidak mengisyaratkan pertanda bahaya apapun setiap kali saya tanya. Saya juga sempat mengeluarkan pertanyaan konyol ke dokter, "Dok kira-kira kapan ini lahirnya?". Dokter Sadina ketawa sambil menjawab, "Waah gak bisa dipastikan nih kalau lahiran normal. Beda lagi sama operasi yang bisa kita tentukan mau kapan lahirnya". Baiklah. Sabar memang kuncinya.

Mendengar pemaparan dokter mengenai induksi, sejujurnya saya takut. Saya parno duluan. Saya malah berpikir, kalau pun sudah diinduksi, belum ada jaminan kalau pembukaan akan bertambah. Jika pembukaan tidak bertambah, maka jelas jalan yang harus diambil adalah operasi. Nah, dalam pikiran saya waktu itu, "Udah deh langsung SC aja. Induksi belum tentu ngaruh juga. Mending SC aja. Udah gak tahan juga ini rasanya..". Nah perasaan ini yang datang terus-terusan saat kontraksi tiba. Padahal, saya gak tau juga induksi rasanya kayak gimana. Ini semua hanyalah keparnoan yang berlebihan saat itu akibat pengetahuan yang minim dan juga memang saya sebelumnya tidak cari tau banyak seputar induksi.

Saya sempat mengomunikasikan perasaan saya tadi kepada suami, bagaimana kalau saya operasi saja? Suami saat itu mengatakan bahwa sebaiknya jangan nyerah dulu dan tunggu hasil USG untuk menentukan langkah selanjutnya. Saya juga coba telepon mamah dan bertanya hal yang sama. Jawabannya pun sama, mamah lebih cenderung mengupayakan normal meskipun kalau akhirnya harus operasi juga tidak apa-apa. Jawaban kedua orang terdekat saya ini cukup memberikan kekuatan untuk sabar menahan sakit saat itu. Ditambah lagi, suami pun meyakinkan bahwa semakin sering kontraksi, semakin sakit yang dirasa, maka pembukaan akan makin cepat dan bayi akan cepat terlahir.

Tiba jam 9.30an. Saya menjalani swab test. Prosedurnya sama dengan swab test yang biasa kita lihat di berbagai sumber. Rasa tidak nyaman saat swab terkalahkan oleh kontraksi yang rasanya makin aduhai. Lalu, setelahnya saya menjalani USG. USG ini lebih kepada USG fetomaternal karena betul-betul mengecek gambaran lengkap kondisi janin. Saat itu saya ditangani dokter Irvan Adenin dan satu dokter yang saya kurang begitu tau nama beliau. Hasil USG menyatakan bahwa kondisi janin dalam keadaan baik semuanya meskipun berat badan cenderung kecil yaitu sekitar 2.200 gram plus minus 300 gram. Namun semua kondisi alat vital bagus. Hanya saja ketuban saya berada di angka 4 yang mana ini sangat wajar karena saya mengalami pecah ketuban di awal. Fyi, saat kontrol 2 hari sebelum persalinan, ketuban saya ada di angka 20. Dan batas normal jumlah ketuban saat melahirkan seingat saya adalah sekitar 10. Jadi, ya saya memang sudah kehilangan banyak ketuban. Inti dari pemeriksaan USG saat itu adalah kondisi bayi saya baik-baik saja dan tidak ada penyulit apapun untuk melahirkan meskipun ketuban tinggal 4. Alhamdulillaah.

Kembali ke ruang bersalin setelah USG, saya yang belum menelan apapun sedari pagi dipaksa untuk makan sedikit demi sedikit demi mengumpulkan energi untuk melahirkan nanti. Tapi sulit sekali rasanya mau makan karena tidak berselera dan terdistraksi kontraksi. Hanya kurma dan teh manis yang bisa saya makan saat itu.

Hingga waktu berjalan, kontraksi makin menjadi, dan waktu menunjukkan sekitar pukul 12 siang. Saya dicek kembali pembukaan dan alhamdulillah sudah pembukaan 5. Pantas saja rasa mulasnya makin berlipat dan jeda antar kontraksi makin singkat. Saya yang tidur dalam posisi terlentang diminta untuk menghadap kiri oleh bidan, katanya untuk mempercepat pembukaan. Tapi posisi tidur ke kiri ini memang membuat rasa sakitnya makin terasa ketimbang tidur terlentang. Masa-masa itu saya betul-betul tidak bisa lepas dari bantuan suami untuk mengomandoi nafas saya. Saat itu saya sempat hilang kontrol untuk mengatur nafas. Alhamdulillaah, semuanya kembali terkendali asalkan dibimbing untuk ambil dan buang nafas. Jadi saat itu suami saya bukan hanya berperan menghitung atau memberi aba-aba untuk bernafas, tapi suami betul-betul memberikan contoh bagaimana saya harus bernafas. Jadi, setiap kontraksi saya langsung ngode ke suami. Ia pun sigap langsung bernafas seakan-akan suami saya yang kontraksi. Kalau sekarang ingat masa itu, saya pengen ketawa sendiri 😅 Lucu kalau ingat ekspresi suami saat itu. Tapi beneran deh, di saat seperti ini memang dibutuhkan sekali pendamping pernafasan.

Tiba-tiba rasa mulas kontraksi makin hebat dan saya merasa ada sesuatu yang mendorong dalam perut dan meminta saya untuk mengejan. Sebelumnya sakitnya ini terpusat pada perut bawah dan pinggang. Tapi kali ini lain karena ada dorongan mengejan dari dalam perut. Bayangkan situasinya seperti saat kita ingin BAB, sudah duduk di atas toilet, sudah diujung sekali, tapi kita dilarang mengejan untuk BAB. Saya pun bilang ke suami kalau saya ingin mengejan. Lalu suami pun memanggil bidan dan melaporkan kondisi saya. Ditambah saya juga merasa ada cairan yang keluar dan suami saya bilang terdapat flek darah di cairan tersebut yang mana saya yakin itu adalah pertanda persalinan makin dekat. Bidan menghampiri saya dan memberikan saya pilihan untuk mengecek pembukaan saat itu juga atau menunggu hingga jam 3 sore. Saya memilih untuk dicek saat itu juga. Dan ternyata, alhamdulillaah pembukaan sudah hampir lengkap. Bidan bilang bahwa akan segera memanggil dokter Sadina. Perasaan saya makin campur aduk. Ditambah ketika melihat tiba-tiba ada beberapa suster dengan alat-alat masuk ke dalam ruangan dan sibuk menyiapkan ini itu untuk keperluan melahirkan. Saya pun dipasangkan selang oksigen untuk membantu pernafasan. Dan memang rasanya bernafas jadi lebih segar dan nyaman saat saya memakai selang oksigen. Sayangnya, selang oksigen tersebut seringkali berpindah posisi tidak karuan di wajah saya karena wajah saya yang menggeleng sana sini menahan kontraksi.

Dorongan mengejan pun makin kuat dan saya makin tidak bisa mengendalikan diri dari rasa mulas ini. Entah bagaimana jadinya kalau suami saya tidak membantu mengontrol nafas di masa-masa genting itu. Ditambah lagi dukungan bidan Claudia yang sangat positif dan begitu tenang sepanjang merawat saya. Meskipun berkali saya merengek, "Mana dokternya? Mana dokternya? Pengen ngeden 😭 Capek, pengen tidur 😭". Iya, saat itu memang rasanya lelah sekali dan ingin tidur dengan tenang. Tapi, mana bisa? Hehehe sabar sabar.

Melihat orang-orang di sekeliling saya seperti sibuk menyiapkan peralatan, saya masih bergumam dalam hati, apa ini sudah saatnya melahirkan? Seperti tidak yakin dengan progress pembukaan yang lumayan cepat di fase akhir. Tapi memang rasanya dorongan mengejak semakin kuat.

Sampai akhirnya sekitar jam 2 siang, dokter datang dan bersiap memulai proses persalinan. Saat itu perasaan saya amat sangat senang sekali karena akhirnya saya bisa ngeden setelah ditahan 2 jam terakhir ini 😭 Saya diajari posisi mengejan dan setelahnya diminta langsung mengejan jika merasa kontraksi. Posisi suami berada dibelakang untuk mensupport punggung selama saya mengejan. Dokter menyampaikan bahwa ketika kontraksi itu datang, maka saya harus mengejan dengan sekuat tenaga. Belakangan, saya bersyukur sekali dengan proses ini karena saat melahirkan, saya adalah komando utama dalam proses melahirkan. Saya yang memegang kendali kapan harus mengejan berdasarkan kontraksi yang saya rasakan.

Setelah dalam posisi mengejan, entah mengapa kontraksi yang awalnya kuat, tiba-tiba rasanya menjadi samar. Saat itu betul-betul harus berkonsentrasi pada perut untuk memastikan apakah kontraksi muncul atau tidak. Dan tibalah kontraksi datang meskipun rasanya agak samar. Saya ambil posisi mengejan, namun gagal karena nafas saya kurang panjang. Energi memang terkuras cukup banyak sejak pembukaan awal, apalagi hanya sedikit makanan yang saya makan sebelumnya. Saat itu yang saya dengar adalah dukungan dari suami, dokter, dan bidan  yang masyaAllah begitu positif. Mereka bilang bahwa saat ini penentu keluar atau tidaknya sang bayi adalah saya sendiri. Maka saya harus kuat. Sampai akhirnya pada percobaan mengejan ketiga kalinya, bayi berhasil dikeluarkan. Rasanya seperti ada sesuatu yang meluncur dari dalam perut. Seketika itu juga, saya mendengar tangisan bayi pecah. Allahuakbar 😭😭😭

Saya dan suami berpandangan, menangis terharu. Tidak percaya bahwa bayi saya sudah lahir. Tangisannya begitu melengking. Tangisan yang ditunggu para ibu yang melahirkan anaknya. Alhamdulillaah ya Allah..

Sesaat setelah melahirkan, otot paha saya disuntik. Lalu plasenta dikeluarkan dari perut. Dan akhirnya saya menjalani proses inisiasi menyusui dini (IMD) bersama bayi saya dengan ditemani suami saya. Saat itu saya masih takjub karena ada makhluk kecil di dalam pelukan saya sedang mengedip sambil mencari sumber ASI. Saya juga menjalani proses episiotomi atau penjahitan perineum yang sensasinya lumayan juga 😂 Proses penjahitan lumayan lama. Tapi saya tidak berani bertanya ke dokter berapa banyak jahitan yang saya terima saat itu, takutnya parno duluan heheh. Untuk mengalihkan rasa sakit, saya fokuskan perhatian saya pada anak bayi baru lahir yang sedang nemplok di dada saya :")

Selesai semua proses melahirkan dan IMD, bayi saya diambil suster dan ia menangis kembali. Padahal waktu IMD keliatan nyaman banget dan anteng. Lalu suami mengadzankan anak kami dan ia kembali tenang. Selesai adzan, ia menangis lagi. Ternyata bayi sudah memiliki insting kuat pada orang tuanya ;") Akhirnya bayi saya diobservasi dulu untuk memastikan bayi saya baik kondisinya.

Sekitar pukul 6 sore, saya pindah dari ruang bersalin ke ruang rawat inap. Alhamdulillah saat itu saya langsung bisa berjalan kaki meskipun masih cukup tertatih-tatih. Malamnya, sekitar jam 9 malam, akhirnya bayi saya diantar ke ruang rawati inap untuk tidur bersama saya dan suami. Malam itu pula, pertama kalinya saya mengASIhi anak saya. Alhamdulillah. ASI sudah keluar dan si bayi pun langsung pintar menghisap.

Kami menginap di rumah sakit setelah melahirkan selama 2 malam 3 hari. Dan pada masa itu anak saya dengan rutin dicek berbagai kondisinya oleh dokter berhubung ia lahir saat ketuban saya sudah pecah. Alhamdulillahnya kondisi anak saya baik dan tidak ada infeksi apapun.

Data lahir Althaf.


Alhamdulillah, masya Allah tabarakallah, Althaf-ku sudah terlahir ke dunia dengan berat 2525 gram dan panjang 47 cm. Semoga kamu jadi qurrata a'yun untuk mami dan daddy-mu ya Nak.. Begitu pun kami semoga jadi orang tua yang memberikan ikhtiar terbaik untukmu. Ada doa kami terselip di namamu, Althaf sayang.. Terima kasih telah hadir ke dunia, sayang :)

Foto bertiga pertama, sesaat sebelum meninggalkan RS.


Selesai ditulis saat Althaf berusia 2 bulan 1 hari

20 Januari 2021

05.03 pm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Datang ke Dunia, Anak Kedua Kami!

Thank you so much, 2020!

Tak Ternilai Harganya...